Kisah Panjang Mewujudkan Jembatan Suramadu

Bahwa Suramadu diharapkan mampu mengubah atau merevitalisasi kondisi Pulau Madura, di masa mendatang, bukan isapan jempol belaka. Kondisi perekonomian, yang menjadi sasaran utama perubahan untuk masyarakat Madura, dalam kurun waktu dua tahun, pasti bisa dirasakan. Apa saja properti pendukung perubahan itu?

Kali pertama Memorandum of Understanding (MoU) pembangunan Suramadu ditandatangani Juli 1990 di Jepang. Ketika itu, Gubernur Jatim Soelarso bersama kreditor pendukung Suramadu mentargetkan Suramadu mulai dibangun 1992 dan akan selesai 1995.

Jembatan Suramadu sebelum penyelesaian bentang tengah (flickr/deku)

Jembatan Suramadu sebelum penyelesaian bentang tengah (flickr/deku)


Sayangnya, usai MoU diteken, bukan memikirkan bagaimana mencari pendanaan Suramadu, yang ketika itu diprediksi menelan dana dikisaran Rp 2 triliun.

Biaya ini sudah termasuk ongkos pembebasan tanah, yang ketika itu harganya sudah dipatok cukup tinggi oleh warga yaitu Rp 100 ribu/M2 dari yang semula hanya Rp 5 ribu/M2. Kenaikan harga ini cukup wajar, karena kondisi perekonomian ketika itu memang tengah booming.

Sebaliknya, usai pulang dari Jepang, Soelarso dan M Noer sebagai Direktur PT Dhipa Madura Perdana, justru bingung ‘menjawab’ persoalan-persoalan klise menyangkut masa depan Madura dari sisi budaya dan agamis.

Saling lempar pernyataan antara masyarakat dan pemerintah, soal budaya Madura, menenggelamkan pekerjaan utama bagaimana mewujudkan Suramadu.

Rencana masuknya berbagai industri ditanggapi sisi buruknya, bukan sisi positifnya industri bersangkutan. Perdebatan panjang soal clean industry dan heavey industry menyita waktu cukup lama, sampai-sampai perekonomian jatuh terpuruk. Dan, MoU yang diteken di Jepang pun menjadi tidak ada gunanya sama sekali.

Ketika saya berdiri di atas Suramadu, sekarang hanya satu impian yang segera terwujud, melihat lalu lalang container dan truk-truk besar keluar masuk Pulau Madura.

Kalau Suramadu hanya dilintasi bus-bus jurusan Malang – Sumenep atau kendaraan pribadi, rasanya terlalu mahal investasi yang dibenamkan. Rasanya, tidak perlu ada Suramadu kalau hanya untuk mempermudah angkutan antara warga dari dan/ke Madura.

Bagaimanapun juga, industri adalah lokomotif pembangunan di sebuah daerah. Maju tidaknya daerah tergantung penuh atas pertumbuhan industri didalamnya. Baik industri berskala besar, menengah atau pun kecil.

Putaran mesin industri di sebuah daerah otomatis akan memperkuat putaran uang di daerah tersebut. Kalau hanya tergantung PAD yang itu-itu saja, sampai kapan pun, Madura tetap tidak akan bisa mengejar ketinggalannya dari daerah lain di Jatim.

Sumber Daya Manusia (SDM), yang di Madura sekarang ini dianggap kurang memenuhi syarat, karena rata-rata hanya lulusan SD dan SMP, untuk mengubah bukanlah pekerjaan sulit.

Jika putaran uang dan perekonomian di ‘negeri garam’ ini cukup besar, otomatis mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi.

Sekarang ini, karena penghasilan petani dan nelayan serta petani garam tidak mampu mengejar kebutuhan hidup, maka sekolah yang lebih tinggi sulit untuk diwujudkan.

Madura dan Surabaya sebenarnya tidak berbeda. Jika investor didalamnya dipagari dengan perda dan peraturan yang bijaksana, tentu persoalan budaya dan agamis tidak akan terpengaruh. Investor pun tentunya tidak akan gampang-gampang atau seenaknya untuk bisa investasi di Madura.

Tenaga kerja dan lahan yang murah saja, tidak cukup bagi investor untuk berkembang di Madura. Termasuk lima investor asing dan nasional, yang segera masuk setelah diajak Pemprov Jatim berinvestasi ke Madura. Semua tentu tergantung warga Madura sendiri, bagaimana menyiapi kemajuan di depannya.

Sebab, tanpa masuknya industri maka ekonomi di Madura akan tetap seperti sekarang ini. Contohnya, Fuad Amin (Bupati Bangkalan) saja kalau hendak membeli arloji bermerk, harus ke Tunjungan Plasa Surabaya. Pekerjaan ini juga dilakukan pejabat lain di Madura, jika ingin mendapatkan barang-barang yang diinginkan.

Coba kalau di Bangkalan berdiri pertokoan atau plasa sekelas Tunjungan Plasa , tentu putaran uang tidak perlu harus menyeberang ke Surabaya.

Atau plasa-plasa mewah itu ada berdiri megah di Pamekasan, Sumenep dan Sampang, tentu tingkat perekonomian sekitarnya akan ikut terkatrol. (Hary Santoso/malangpost)

0 komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget

Mau seperti ini?
Click aja disini---> Eko Kurniawan

Wedding Day

My Twitter

YM Status

Prakiraan Cuaca

SMS Gratis

IP
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

this widget by www.AllBlogTools.com